Hukum-Hukum Dalam Islam Wajib Dan Sunnah
Pentingnya Mengenal Lima Hukum dalam Ilmu Fiqih yaitu Wajib, Sunnah, Mubah, Makruh dan Haram
Terkadang Sebagian yang Makruh Berubah menjadi Boleh
Sebagai contoh, salat sambil bersandar tembok. Hal ini hukum asalnya makruh. Akan tetapi, jika seseorang bersandar karena badan yang kurang sehat, maka boleh melakukannya.
Syaikh Shalih Al-Fauzan di dalam kitab “Al-Mulakhas Al-Fiqhi” mengatakan:
“Makruh ketika salat : bersandar ke tembok atau yang lain ketika posisi berdiri. Kecuali karena suatu keperluan, karena hal ini bisa menghilangkan kesulitan untuk berdiri. Maka, jika dia melakukannya karena suatu keperluan (sakit atau semisalnya), tidak mengapa salat sambil bersandar.”
Di kitab yang sama, Syaikh mengatakan, bahwa berbincang-bincang setelah salat Isya adalah makruh. Akan tetapi, selanjutnya Syaikh mengatakan:
“Ini jika begadangnya setelah salat Isya tanpa ada faedah sama sekali. Adapun, jika begadangnya karena tujuan yang benar dan keperluan yang bermanfaat, maka tidak mengapa begadang.”
Imam Ibnu Qudamah rahimahullah berkata, bahwa haram adalah kebalikan dari wajib. Sehingga, yang dimaksud dengan haram adalah perbuatan yang jika dilakukan, maka pelakunya mendapat hukuman dari Allah.
Terkadang, sesuatu yang hukumnya haram diistilahkan dengan maksiat. Terkadang juga disebut dengan dosa. Begitu juga, ketika ulama mengatakan tidak boleh, yang dimaksud adalah haram.
Misalnya seperti yang dikatakan oleh syaikh Shalih Al-Fauzan di dalam kitab “Al-Mulakhas Al-Fiqhi”:
“Tidak boleh mengangkat orang yang fasik menjadi imam salat.”
Disusun oleh Fajri Nur Setyawan
Artikel Alukhuwah.Com
Beberapa Istilah Lain Hukum Sunnah
Ada beberapa ungkapan lain untuk amalan yang hukumnya sunnah, di antaranya adalah mustahab, tathawwu’, naflun dan lain-lain. Semua istilah ini menunjukkan makna yang sama, yaitu amalan tersebut dianjurkan.
Contoh Penggunaan Istilah Wajib:
Di dalam kitab “Al-Mulakhas Al-Fiqhi” syaikh Shalih Al-Fauzan mengatakan:
“Wajib bagi orang yang puasa menjauhi dusta, ghibah dan mencela …”
Imam Ibnu Qudamah rahimahullah, di dalam kitab “Raudhatun Nazhir” mengatakan, bahwa mandub adalah:
مَا فِي فِعْلِه ثَوَابٌ وَ لَا عِقَابَ فِي تَرْكِهِ
“Perbuatan yang ada pahalanya jika dilakukan, dan tidak ada hukumannya jika ditinggalkan.”
Prioritas dalam Dakwah dan Pengingkaran Suatu Kesalahan
Pengetahuan tentang lima hukum ini juga sangat membantu seorang juru dakwah dalam proses berdakwah. Terutama, ketika dia hendak menentukan mana yang lebih diprioritaskan dalam dakwahnya. Yaitu, ketika terjadi pertentangan antara sesuatu yang hukumnya sunnah dengan sesuatu yang hukumnya wajib.
Sebuah kesalahan, ketika seorang juru dakwah dihadapkan antara dua pilihan yang harus dipilih, yaitu sesuatu yang hukumnya wajib dan sesuatu yang hukumnya sunnah. Namun, ia lebih mementingkan yang sunnah daripada yang jelas-jelas wajib menurut ulama ahli fiqih.
Begitu juga dalam mengingkari atau menegur. Tentunya, teguran atau pengingkaran terhadap orang yang meninggalkan amalan yang sunnah tidak sekeras teguran kepada orang yang meninggalkan amalan yang wajib.
Imam Ibnu Qudamah rahimahullah, di dalam kitab “Raudhatun Nazhir” mengatakan, bahwa wajib adalah:
مَا تُوُعِّدَ بِالعِقابِ على تَرْكِهِ
“Perbuatan yang ada ancaman hukumannya karena meninggalkannya.”
Atau menurut pendapat yang lain, wajib adalah:
مَا يُعاقَبُ تَارِكُهُ
“Orang yang meninggalkannya berhak mendapatkan hukuman.”
Yang dimaksud adalah, jika seorang hamba meninggalkannya dengan sengaja, padahal dia mampu melaksanakannya.
Hukum Pernikahan dalam Islam
Jumhur ulama menyebut bahwa hukum pernikahan pada seseorang bisa berubah dan tiap orangnya dapat berbeda lantaran tergantung kondisi dan permasalahan yang dialami.
Berikut berbagai hukumnya yang dilansir dari Ensiklopedi Fikih Indonesia: Pernikahan, Fiqih Islam wa Adilatuhu karya Wahbah az-Zuhaili, dan Panduan Lengkap Muamalah oleh Muhammad Bagir:
Menjadi wajib apabila seorang muslim telah cukup kemampuan untuk melangsungkannya, baik secara finansial maupun lahir batin. Di sisi lain ia memiliki hasrat seksual yang tinggi dan khawatir akan terjerumus ke dalam perzinaan jika ia tidak menikah. Ia juga tidak mampu menjaga dirinya dari perbuatan hina dengan cara lain seperti puasa.
Mengingat bahwa menjaga kesucian dan kehormatan adalah suatu keharusan, begitu pula dengan menjauhi perbuatan yang dilarang agama. Sehingga cara terbaik baginya adalah dengan menikah.
Apabila seseorang akan mendzalimi serta membahayakan pasangannya jika menikah, seperti dalam kondisi tidak dapat memenuhi kebutuhan pernikahan lahiriah dan batiniah, atau tidak mampu berbuat adil terhadap istri-istrinya. Juga menjadi haram bila hendak melakukan penipuan.
Atau ada kasus di mana salah satu pasangannya menderita penyakit yang bisa menghalangi kebahagiaan di antara mereka kelak, maka tidak halal baginya untuk menyembunyikan hal itu. Kecuali telah memberitahukan kekurangannya itu kepada calom pasangannya.
Tidak menjadi wajib melainkan sunnah jika seseorang sudah mampu dalam finansial dan pemenuhan lahir batin, tetapi tidak takut akan tergelincir kepada perilaku yang dilarang. Dilatarbelakangi pula dengan umurnya yang terbilang masih muda.
Orang dengan keadaan seperti ini sebatas dianjurkan untuk menikah, tidak sampai diwajibkan. Lantaran ia mampu menjaga dirinya dari perbuatan zina.
Bagi orang yang tidak punya penghasilan serta tidak mampu memenuhi kebutuhan batiniah, tetapi calon istrinya rela dan memiliki harta cukup untuk menghidupi mereka. Dengan kondisi seperti ini, maka menikah adalah makhruh bila dipandang dalam Islam.
Di mana seseorang dalam kondisi stabil, tidak cemas akan terjerumus kepada zina, dzalim atau membahayakan pasangannya jika tidak menikah. Tidak ada pula dorongan maupun hambatan untuk melakukan atau meninggalkan pernikahan. Dalam keadaan ini, hukum menikah bagi seseorang yakni boleh (mubah).
YOGYAKARTA- Kajian jelang berbuka di masjid Islamic Center UAD pada hari Sabtu (30/03) membahas tema tentang hukum dan Islam yang disampaikan oleh M. Habibi Miftakhul Marwa SHI, MH (Dosen Fakultas Hukum UAD) selaku pemateri.
Mengutip dari Rene David guru besar hukum dan ekonomi universitas Paris, Habibi menyampaikan bahwa tidak mungkin orang memperoleh gambaran yang jelas tentang Islam sebagai suatu kebulatan, jika orang tidak mempelajari hukumnya. Kemudian kerangka dalam Islam itu ada 3, yaitu akidah, syariah dan akhlak. Akidah berbicara tentang keyakinan dan keimanan serta bagaimana tentang ketauhidan. Syariah adalah sistem hukum yang ada di dalam ajaran agama Islam. Syariah merupakan kumpulan norma ilahi yang Allah turunkan kepada umat manusia. Akhlak secara garis besar adalah sistem etika dan moral yang ada di dalam ajaran agama Islam. Antara ketiga kerangka tersebut terdapat satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan karena saling berkaitan. Islam memiliki kumpulan aturan yang lengkap hampir bisa dikatakan setiap aktivitas yang ada di dalam kehidupan manusia ini Islam memiliki sistem aturan. Aturan-aturan yang telah ditetapkan Allah dalam syariat itu ada aturan yang mengatur terkait tata cara beribadah dan membangun hubungan dengan Allah SWT. Islam juga mengatur tata cara membangun hubungan manusia dengan manusia, manusia dengan alam yang disebut dengan muamalah.
Kemudian Habibi juga menjelaskan terkait perbedaan syariat dan hukum. Di mana syariat itu adalah kumpulan norma ilahi yang mengatur hubungan manusia dengan Allah SWT (ibadah), hubungan manusia dengan manusia dalam kehidupan sosial, hubungan manusia dengan benda dan alam lingkungan (muamalah).
Dan hukum merupakan suatu kumpulan aturan yang dapat dilaksanakan untuk mengatur atau mengatur masyarakat atau aturan apapun yang dibuat sebagai suatu aturan hukum seperti aturan dari perlemen. Manusia harus di atur agar manusia bisa hidup tertib agar tidak terjadi konflik. Dia juga menyampaikan bisa disebut hukum apabila memenuhi 4 unsur yaitu ada aturan, ada yang membuat, bersifat memaksa, ada sanksinya bagi para pelanggar aturan.
“Kedudukan hukum dalam Islam saling terikat karena Islam menjadi agama paripurna yang berisi aturan-aturan dan yang menjadi sumber hukum utama dalam Islam adalah Alquran dan hadis. Nabi Muhammad SAW sebagai pemimpin hukum umat Islam.” Terangnya.
Dalam Alquran memiliki kandungan hukum, seperti pada surat surat madaniyah kandungannya berkaitan dengan hukum. Ayat-ayat hukum di dalam Alquran ada sekitar 368 ayat atau sekitar 5,8 persen dari seluruh ayat di dalam Alquran. Nabi Muhammad SAW sebagai pemimpin hukum telah meletakkan hukum-hukum modern di tengah masyarakat arab yang masih jahiliah. Nabi Muhammad datang membawa perubahan terkait sistem hukum yang ada di Arab pra Islam. (Ekha Yulia Ningsih)
Pernikahan termasuk perwujudan ibadah dalam agama Islam. Bahkan pernikahan disebut sebagai ibadah terpanjang.
Pada dasarnya, hukum pernikahan dalam Islam sendiri sangat dianjurkan Rasulullah bagi mereka yang mampu untuk melaksanakannya. Akan tetapi, hukum nikah dapat berubah tergantung situasi serta kondisi seseorang.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Mengutip NU Online, pernikahan dalam Islam ditilik dari sudut pandang hukum sebagai berikut.
حُكم النِكَاحِ شَرْعُا للنكاح أحكام متعددة، وليس حكماً واحداً، وذلك تبعاً للحالة التي يكون عليها الشخص
Artinya: "Hukum nikah secara syara'. Nikah memiliki hukum yang berbeda-beda, tidak hanya satu. Hal ini mengikuti kondisi seseorang (secara kasuistik)," (Sa'id Musthafa Al-Khin dan Musthafa Al-Bugha, Al-Fiqhul Manhaji 'ala Madzhabil Imamis Syâfi'i, Surabaya, Al-Fithrah, 2000, juz IV, halaman 17).
Dari penjelasan tersebut, maka hukum nikah berbeda-beda sesuai dengan kondisi seseorang dan tidak bisa disamaratakan.
Dirangkum dari buku Fiqih Munakahat: Hukum Pernikahan dalam Islam (2023), berikut macam-macam hukum pernikahan dalam Islam dan kriterianya.
Bagi orang yang mempunyai kemauan dan kemampuan untuk menikah, serta khawatir dirinya terjerumus perbuatan zina, maka hukum melakukan perkawinan bagi orang tersebut adalah wajib.
Hal itu didasarkan pada pemikiran hukum bahwa setiap muslim wajib menjaga diri untuk tidak berbuat yang terlarang. Seseorang dikatakan wajib untuk menikah apabila:
Orang yang telah mempunyai kemauan dan kemampuan untuk melangsungkan perkawinan tetapi kalau tidak kawin tidak dikhawatirkan akan berbuat zina maka hukum melakukan perkawinan bagi orang tersebut adalah sunah.
Pernikahan dianggap sunah untuk dilakukan apabila:
Seseorang dalam kondisi stabil, tidak cemas akan terjerumus kepada zina, zalim atau membahayakan pasangannya jika tidak menikah.
Tidak ada pula dorongan maupun hambatan untuk melakukan atau meninggalkan pernikahan. Dalam keadaan ini, hukum menikah bagi seseorang tersebut yakni boleh atau mubah, yang artinya tidak berdosa dan tidak pula berpahala apabila dilakukan.
Bagi orang yang mempunyai kemampuan untuk melakukan perkawinan tetapi orang tersebut tidak punya penghasilan serta tidak mampu memenuhi kebutuhan batiniah.
Sementara calon istrinya rela dan memiliki harta cukup untuk menghidupi mereka. Dengan kondisi seperti itu, maka hukum pernikahannya dalam Islam dipandang makruh, yakni tidak dianjurkan atau tidak disukai.
Pernikahan haram hukumnya bagi orang yang tidak mempunyai keinginan dan kemampuan serta tanggung jawab untuk melaksanakan kewajiban dalam rumah tangga.
Apabila melangsungkan perkawinan berpotensi menelantarkan dirinya dan istrinya maka hukum melakukan pernikahanan bagi orang itu haram.
Pernikahan bisa menjadi haram apabila:
Itulah beberapa penjelasan tentang hukum pernikahan dalam Islam, mulai dari wajib, sunah, mubah, makruh, sampai haram yang harus diketahui setiap Muslim.
Perlombaan atau musabaqah telah menjadi bagian dari aktifitas manusia sejak dahulu hingga sekarang. Berbagai macam hal yang diperlombakan di masyarakat. Terkadang perlombaan juga disertai dengan adanya hadiah bagi pemenangnya. Bagaimana hukum perlombaan dalam islam?
Musabaqah dari as sabqu yang secara bahasa artinya:
القُدْمةُ في الجَرْي وفي كل شيء
“Berusaha lebih dahulu dalam menjalani sesuatu atau dalam setiap hal” (Lisaanul Arab).
Maka musabaqah artinya kegiatan yang berisi persaingan untuk berusaha lebih dari orang lain dalam suatu hal. Disebutkan dalam Al Mulakhas Al Fiqhi (2/155):
المسابقة: هي المجاراة بين حيوان وغيره، وكذا المسابقة بالسهام
“Musabaqah adalah mempersaingkan larinya hewan atau selainnya, demikian juga persaingan dalam keahlian memanah”.
Hukum Asal Perlombaan Dalam Islam
Poin pertama yang akan kami bahas adalah hukum asal perlombaan dalam islam. Sekedar perlombaan, yaitu bersaing dengan orang lain dalam suatu hal dan berusaha lebih dari yang lain ini tentu hukum asalnya mubah (boleh). Yang menjadi permasalahan adalah ketika dalam lomba tersebut terdapat taruhan atau hadiah. Adapun sekedar lomba tanpa taruhan dan hadiah, hukum asalnya boleh. Karena perlombaan merupakan perkara muamalah. Kaidah fiqhiyyah mengatakan:
الأصل في المعاملات الحِلُّ
“Hukum asal perkara muamalah adalah halal (boleh)”.
Selain itu, para ulama ketika membahas masalah musabaqah, umumnya mereka mengidentikkan dengan perlombaan yang melatih orang agar siap untuk berjihad. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan:
السباق بالخيل والرمي بالنبل ونحوه من آلات الحرب مما أمر الله به ورسوله مما يعين على الجهاد في سبيل الله
“Perlombaan kuda, melempar, memanah dan semisalnya merupakan alat-alat untuk berperang yang diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya untuk membantu jihad fi sabilillah” (dinukil dari Al Mulakhas Al Fiqhi, 2/156).
Oleh karena itu diantara dalil tentang disyariatkannya lomba adalah dalil-dalil yang memerintahkan umat Islam untuk melatih diri sehingga siap untuk berjihad fi sabilillah. Diantaranya Allah Ta’ala berfirman:
وَأَعِدُّوا لَهُمْ مَا اسْتَطَعْتُمْ مِنْ قُوَّةٍ
“Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi” (QS. Al Anfal: 60).
Dari sahabat ‘Uqbah bin ‘Amir radhiallahu’anhu:
سمعتُ رسولَ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ ، وهو على المنبرِ ، يقول وَأَعِدُّوا لَهُمْ مَا اسْتَطَعْتُمْ مِنْ قُوَّةٍ . ألا إنَّ القوةَ الرميُ . ألا إنَّ القوةَ الرميُ . ألا إنَّ القوةَ الرميُ
“Aku mendengar Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam berkhutbah di atas mimbar. Tentang ayat ‘dan persiapkanlah bagi mereka al quwwah (kekuatan) yang kalian mampu‘ (QS. Al Anfal: 60) Rasulullah bersabda: ‘ketahuilah bahwa al quwwah itu adalah skill menembak (sampai 3 kali)’” (HR. Muslim no. 1917).
Imam Nawawi ketika menjelaskan hadits:
ألا إنَّ القوةَ الرميُ
“Ketahuilah bahwa al quwwah itu adalah skill menembak.”
Beliau menjelaskan: “Dalam hadits ini dan hadits-hadits lain yang semakna ada keutamaan skill menembak serta keutamaan skill militer, juga anjuran untuk memberi perhatian pada hal tersebut dengan niat untuk jihad fii sabiilillah. Termasuk juga latihan keberanian dan latihan penggunaan segala jenis senjata. Juga perlombaan kuda, serta hal-hal lain yang sudah dijelaskan sebelumnya. Maksud dari semua ini adalah untuk latihan perang, mengasah skill dan mengolah-ragakan badan.” (Syarh Shahih Muslim, 4/57).
Nabi shallallahu’alaihi wasallam bersabda:
اللهْوُ في ثلاثٍ : تأديبُ فرَسِكَ ، و رمْيُكَ بِقوسِكِ ، و مُلاعَبَتُكَ أهلَكَ
“Lahwun (yang bermanfaat) itu ada tiga: engkau menjinakkan kudamu, engkau menembak panahmu, engkau bermain-main dengan keluargamu” (HR. Ishaq bin Ibrahim Al Qurrab [wafat 429H] dalam Fadhail Ar Ramyi no.13 dari sahabat Abud Darda’, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Al Jami’ 5498).
Nabi shallallahu’alaihi wasallam pernah berlomba lari dengan Aisyah radhiallahu’anha. Ia berkata:
سَابَقَنِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَسَبَقْتُهُ حَتَّى إِذَا رَهِقَنَا اللَّحْمُ سَابَقَنِي فَسَبَقَنِي فَقَالَ : هَذِهِ بِتِيكِ
“Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam mengajakku berlomba lari lalu aku mengalahkan beliau. Hingga suatu ketika ketika aku sudah lebih gemuk beliau mengajakku berlomba lari lalu beliau mengalahkanku. Beliau lalu berkata: ‘ini untuk membalas yang kekalahan dulu’” (QS. An Nasa-i no. 7708, Abu Daud no. 2257, dishahihkan Al Albani dalam Al Irwa’ [5/327]).
Dan dalil-dalil yang lain yang menunjukkan bolehnya dan bahkan dianjurkannya perlombaan memanah, berkuda, dan melempar (skill menembak). Itulah hukum asal perlombaan dalam islam.
Baca Juga: Mari Berlomba Meraih Shaf Pertama
Ahkamut Taklif Ada Lima
Pembahasan tentang istilah wajib, sunnah, mubah, makruh dan haram pada asalnya merupakan pembahasan dalam disiplin ilmu Ushul Fiqih. Lima hal ini diistilahkan dengan ahkamut taklif.
Di dalam kitab “Raudhatun Nazhir”, Imam Ibnu Qudamah rahimahullah berkata:
أحْكامُ التكْلِيْف خَمْسَةٌ: واجِبٌ،و منْدُوْب،و مُباحٌ،و مَكْرُوْهٌ،و مَحْظُوْر
“Ahkamut taklif ada lima : wajib, mandub (sunnah), mubah, makruh dan mahzhur (haram).”
Kemudian Imam Ibnu Qudamah menjelaskan alasan para ulama menetapkan adanya lima hukum ini, yaitu bahwa kandungan makna dari ayat-ayat Al-Qur’an maupun hadits jika disimpulkan ada beberapa bagian, ada yang bermakna tuntutan untuk melakukan sesuatu, ada tuntutan untuk meninggalkan sesuatu, dan ada yang berupa pilihan, antara melakukan atau meninggalkan.
Tuntutan untuk melakukan sesuatu ini, jika dirinci lagi : ada tuntutan yang disertai ancaman jika tidak melaksanakannya. Dan ada yang tidak disertai ancaman. Yang disertai ancaman diistilahkan dengan wajib. Sedangkan yang tidak disertai ancaman diistilahkan dengan mandub (sunnah).
Tuntutan untuk meninggalkan sesuatu, jika dirinci lagi : ada yang disertai ancaman jika melanggarnya. Dan ada yang tidak disertai ancaman. Yang disertai ancaman diistilahkan dengan haram. Sedangkan yang tidak disertai ancaman diistilahkan dengan makruh.
Amalan Sunnah Tidak untuk Diremehkan
Suatu amalan yang hukumnya sunnah tidak bisa disamakan dengan amalan yang wajib dari sisi keharusan melakukannya. Meskipun demikian bukan berarti kita meremehkan amalan sunnah.
Terlebih lagi, amalan yang hukumnya sunnah ini bertingkat-tingkat. Ada amalan sunnah yang terkadang tidak dilakukan Nabi. Ada pula amalan sunnah yang tidak pernah ditinggalkan Nabi. Untuk amalan sunnah yang seperti ini, tentu penekanan yang dilakukan sangat kuat, dan sebisa mungkin kita juga mengamalkannya.
Contoh Penggunaan Istilah Sunnah
Syaikh Shalih Al-Fauzan di dalam kitabnya “Al-Mulakhkhash Al-Fiqhi”, mengatakan:
“Sunnah-sunnah salat ini tidak harus dilakukan ketika salat, akan tetapi, siapa yang melakukan semua atau melakukan sebagiannya, dia mendapat tambahan pahala. Dan siapa yang tidak melakukan semua atau tidak melakukan sebagiannya, dia tidak berdosa, sebagaimana hal ini berlaku untuk semua amalan yang hukumnya sunnah.”
Ketika menjelaskan tentang sutrah, yaitu suatu benda yang kita letakkan di depan kita saat salat yang berfungsi sebagai pembatas, syaikh Shalih Al-Fauzan mengatakan:
“Meletakkan sutrah adalah sunnah, bagi orang yang salat sendirian dan bagi seorang imam.” Kemudian syaikh mengatakan lagi, “Dan meletakkan sutrah bukanlah hal yang wajib.”
Dalam pembahasan salat Jumat, syaikh Shalih Al-Fauzan mengatakan:
“Mustahab (dianjurkan) untuk segera pergi ke masjid di Hari Jumat …”